Kartun YouTube Shorts Bisa Rusak Emosi Anak

Aug 5, 2025 - 10:24
 0
Kartun YouTube Shorts Bisa Rusak Emosi Anak

MNAINDONESIA.ID - Di balik tampilan lucu dan warna cerah kartun YouTube Shorts, tersimpan bahaya laten yang mengancam tumbuh kembang anak-anak. Tayangan berdurasi kurang dari satu menit ini terbukti mampu membentuk kebiasaan konsumsi konten digital secara berlebihan dan tanpa sadar menanamkan pesan kekerasan terselubung.

Hal ini ditegaskan oleh Melisa Arisanty, S.I.Kom., M.Si., Dosen Universitas Terbuka, dalam pemaparannya di hadapan Kepala Sekolah KB-TK QUANTUM, Lia Latifah, SE., M.Pd., Senin (4/8). Melisa menjelaskan bahwa sejumlah tayangan kartun pendek di YouTube Shorts mengandung unsur kekerasan yang disamarkan dalam bentuk animasi jenaka.

 "Ini bukan sekadar hiburan. Anak-anak bisa terpapar kekerasan simbolik dan visual secara berulang karena algoritma YouTube bekerja merekomendasikan video sejenis," ujar Melisa.

Bahaya itu makin nyata ketika Direktur UT Medan, Yasir Riady, mengungkapkan hasil pemantauan konten YouTube Shorts yang menunjukkan pola konten kekerasan kartun kian marak.

 "Anak yang menonton satu jenis kartun kekerasan, keesokan harinya disuguhi tayangan yang lebih ekstrem. Ini bahaya algoritmik," ungkapnya.

Dalam wawancara dengan sejumlah orang tua dan guru PAUD, terungkap fakta mengejutkan: anak-anak cenderung meniru adegan kekerasan dari video, menunjukkan perubahan emosi mendadak, dan bahkan mengalami kesulitan tidur hingga mimpi buruk. Lebih parah lagi, banyak anak yang mulai kehilangan kemampuan fokus, cepat marah, dan memperlihatkan kebiasaan tidak biasa seperti menggulir jari seolah-olah sedang scrolling layar ponsel.

Menurut Lia Latifah, yang juga Wakil Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), orang tua harus membuka mata terhadap realitas ini.

"Membiarkan anak menonton YouTube Shorts tanpa pengawasan adalah bentuk kelalaian. Bahkan saya bisa katakan, itu kejahatan digital dalam rumah tangga," tegas Lia.

Ia menambahkan, hanya karena berbentuk kartun, bukan berarti aman untuk anak-anak. Banyak konten yang dikemas dalam animasi ringan namun menyimpan kekerasan simbolik dan verbal yang sangat tidak pantas. Kondisi ini sejalan dengan fenomena “popcorn brain”, ketika otak anak terbiasa menerima stimulasi cepat dan tidak lagi merespons realitas dengan baik.

Lia juga menyayangkan rendahnya literasi digital pada orang tua. “Jangan serahkan pendidikan anak pada algoritma. Teknologi harus diimbangi dengan pendampingan dan kontrol,” ucapnya dengan nada prihatin.

Para guru PAUD mendorong deteksi dini terhadap perubahan perilaku anak. Beberapa gejala yang perlu diwaspadai antara lain: anak cenderung diam saat diajak bicara, menggunakan bahasa kasar, meniru kekerasan dalam permainan, mudah tantrum, sulit fokus, dan kecanduan menonton video pendek.

Jika orang tua menemukan gejala-gejala tersebut, langkah pertama yang disarankan adalah menghentikan sementara akses screen time dan mengganti dengan aktivitas edukatif seperti menggambar, membaca, atau bermain luar ruangan. Untuk kasus yang lebih serius, konsultasi dengan psikolog anak atau dokter tumbuh kembang menjadi pilihan penting.

Langkah pencegahan lainnya termasuk membatasi screen time maksimal satu jam pada akhir pekan, melakukan pendampingan saat anak menonton, menggunakan aplikasi parental control, serta menyeleksi tontonan sebelum diberikan kepada anak.

“Lebih baik anak tidak mengenal YouTube Shorts daripada memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi,” tegas Lia.

Peringatan ini bukan untuk menjauhkan anak dari teknologi, tetapi memastikan mereka tidak menjadi korban dari sistem digital yang tak mengenal usia. Seperti yang disampaikan Melisa Arisanty, “Bukan berarti anak tidak boleh bersentuhan dengan teknologi. Tapi harus ada pendampingan dan seleksi ketat. Jangan serahkan pendidikan anak pada algoritma.”

Kini, bola ada di tangan orang tua: tetap diam atau bertindak sebelum terlambat.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow