KIK Ke-34 Resmi Dibuka: HISKI Tekankan Sastra sebagai Inspirasi Perubahan Sosial

MNAINDONESIA.ID - Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) secara resmi membuka Konferensi Internasional Kesusastraan (KIK) ke-34 di Balai Besar Penjamin Mutu Pendidikan (BBPMP) Jawa Timur.
Dalam sambutannya, Ketua Umum HISKI, Prof. Dr. Novi Anoegerajekti, menegaskan bahwa sastra memiliki fungsi strategis sebagai inspirator perubahan sosial dan ruang refleksi bagi dinamika kemanusiaan.
Acara bergengsi ini dihadiri akademisi, sastrawan, peneliti, dan pemerhati sastra dari berbagai daerah serta sejumlah peserta mancanegara. Tahun ini, KIK mengusung tema besar “Sastra dan Aktivisme Sosial”, menandai tekad HISKI untuk meneguhkan posisi sastra sebagai kekuatan moral dan intelektual dalam menghadapi tantangan zaman.
Dalam pidatonya, Prof. Novi mengutip gagasan filsuf humaniora bahwa karya seni dan sastra tidak serta-merta mengubah dunia, namun memiliki daya besar dalam menyemai kesadaran kolektif yang kelak memicu perubahan sosial nyata.
“Sastra adalah ruang kontemplasi yang membuka nurani manusia. Melalui kata, ia menumbuhkan empati, membangun imajinasi, dan menggugah tindakan,” ujarnya penuh semangat.
Ia menambahkan, karya sastra kerap menjadi cermin atas berbagai persoalan kemanusiaan—mulai dari kesenjangan sosial, degradasi moral, hingga krisis lingkungan. Melalui narasi dan simbol, pembaca dilatih untuk menyadari ketimpangan serta diajak membangun kepekaan terhadap realitas sosial di sekitarnya.
“Sastra menginspirasi gerakan perubahan sosial karena ia lahir dari pergulatan nurani dan kepedulian terhadap sesama,” tegas Prof Novi.
Tahun 2025 menjadi momen istimewa bagi HISKI yang genap berusia 41 tahun pada 17 November mendatang. Momentum ini juga dijadikan sebagai “Tahun Buku HISKI”, sebuah gerakan nasional yang mendorong produktivitas anggota dalam menulis, menerbitkan, dan memperluas jangkauan literasi.
Dalam konferensi tersebut, HISKI meluncurkan sejumlah karya unggulan. Di antaranya Humaniora Digital (2025) yang ditulis secara kolaboratif oleh 42 profesor, serta karya lain seperti Jejak Tutur di Punggung Aksara, Seratus Tahun Pramoedya Ananta Toer, Sastra Wayang, dan Tabur Ilmu Tuai Buku.
Karya-karya itu menjadi bukti bahwa HISKI bukan hanya organisasi akademik, tetapi juga wadah penggerak kebudayaan dan intelektual bangsa.
Novi juga menekankan pentingnya solidaritas internal dan kolaborasi lintas lembaga. HISKI terus menjalin kerja sama dengan institusi pemerintah, sektor swasta, dan komunitas sastra di berbagai wilayah Indonesia.
Sinergi tersebut telah melahirkan berbagai proyek literasi, penerbitan buku, serta saduran 40 karya sastra klasik yang melibatkan penulis, ilustrator, dan desainer dari berbagai daerah.
Melalui KIK ke-34 ini, HISKI berharap dunia sastra tidak hanya dipahami sebagai ruang estetika, tetapi juga sebagai kekuatan sosial yang mampu menginspirasi dan mendorong perubahan.
“Dengan sastra, kita tidak hanya mencipta keindahan, tetapi juga menyemai kesadaran dan membangun masa depan yang lebih manusiawi,” tutup Prof. Novi dengan optimistis.
What's Your Reaction?






