Literasi Anak, Kunci Masa Depan Bangsa
Rendahnya literasi anak Indonesia disebabkan oleh kesenjangan sosial ekonomi. Dukungan orang tua dan akses pendidikan jadi faktor penting untuk menciptakan generasi cerdas dan kompetitif di masa depan.

MNAINDONESIA.ID - "Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat kamu gunakan untuk mengubah dunia." — Nelson Mandela
Pernyataan Mandela seolah membawa kita untuk meneropong lebih dalam suatu fakta pahit yang kian menganga. Apa itu? minat baca anak-anak negeri ini masih sangat rendah. Padahal, literasi merupakan fondasi esensial dalam mencetak sumber daya manusia unggul yang adaptif dan inovatif. Indonesia, negeri dengan ribuan pulau dan jutaan mimpi, justru menempati peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca, menurut data UNESCO. Sebuah ironi yang mengusik nurani: di tengah semangat membangun bangsa, anak-anak masih bergelut dengan tantangan dasar bernama literasi.
Di balik angka dan statistik, ada cerita nyata tentang bagaimana status sosial ekonomi (SES) orang tua menjadi pembeda mencolok dalam perkembangan literasi anak. Keluarga dengan SES tinggi memiliki segalanya: buku, internet, waktu, dan kesadaran. Orang tua dengan pendidikan tinggi tak hanya paham pentingnya literasi, tapi juga tahu bagaimana menanamkannya. Mereka menyediakan ruang dan waktu bagi anak untuk membaca, berdiskusi, dan bertanya. Mereka menjadi pelita yang menuntun anak-anak mereka menelusuri lorong-lorong ilmu pengetahuan.
Bandingkan dengan keluarga berpenghasilan rendah. Di sana, perjuangan untuk sekadar bertahan hidup membuat literasi seperti kemewahan. Buku menjadi barang langka, waktu menjadi mahal, dan pemahaman tentang pentingnya membaca kerap terpinggirkan oleh rutinitas mencari nafkah. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang miskin stimulasi intelektual. Mereka kurang diajak membaca, kurang mendapat cerita pengantar tidur yang penuh makna, dan sering kali harus belajar tanpa bimbingan.
Penelitian Wilson dan Hughes (2009) menegaskan bahwa pendidikan orang tua yang lebih tinggi berkorelasi positif dengan kebiasaan membaca anak. Ini bukan sekadar hubungan statistik, ini kenyataan yang bisa disaksikan di banyak sudut Indonesia. Anak-anak dari keluarga berada lebih leluasa dalam memilih bacaan, mengikuti kursus tambahan, bahkan menjelajahi dunia lewat teknologi. Sementara itu, anak-anak dari keluarga kurang mampu harus puas dengan buku usang di sudut rumah, atau bahkan tidak punya buku sama sekali.
Tak berhenti di situ, temuan dari Evans dan Schamberg (2009) menyatakan bahwa anak dari keluarga berpendapatan rendah lebih berisiko mengalami kesulitan membaca karena minimnya stimulasi intelektual di rumah. Bayangkan seorang anak yang ingin tahu banyak hal, namun tak punya siapa pun untuk bertanya, tak punya apa pun untuk dibaca, dan tak tahu harus mulai dari mana. Di saat anak lain membahas kisah dalam novel, mereka masih bergelut mengeja huruf demi huruf.
Dalam lingkungan keluarga dengan SES tinggi, kegiatan literasi menjadi bagian dari budaya. Buku tersedia dalam berbagai tema dan level usia. Orang tua meluangkan waktu untuk membaca bersama, berdiskusi, bahkan memperkenalkan anak pada literatur klasik sejak dini. Anak-anak pun tumbuh dalam suasana yang memperkuat rasa ingin tahu dan memperkaya kosa kata. Di sisi lain, anak-anak dari keluarga miskin cenderung berada dalam suasana yang minim bahan bacaan dan komunikasi literatif. Hal ini berdampak langsung pada kemampuan mereka memahami informasi, berpikir kritis, dan mengungkapkan pendapat.
Padahal, literasi tidak hanya sebatas keterampilan membaca dan menulis. Lebih dari itu, literasi adalah kemampuan untuk memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan ini menjadi sangat penting dalam menghadapi tantangan zaman yang penuh dengan hoaks, manipulasi data, dan tuntutan berpikir kritis. Literasi adalah senjata untuk bertahan, beradaptasi, bahkan memimpin di era globalisasi.
Kesenjangan literasi yang diakibatkan oleh perbedaan status sosial ekonomi ini semakin diperparah oleh pandemi COVID-19. Pembelajaran daring yang semestinya menjadi solusi justru menjadi penghambat bagi anak-anak dari keluarga miskin. Menurut UNICEF (2020), hampir setengah dari anak-anak di Indonesia tidak memiliki perangkat teknologi yang memadai untuk mengikuti pembelajaran daring. Akibatnya, kesenjangan belajar makin lebar. Satu generasi berlari dengan gadget dan video pembelajaran, sementara yang lain tertinggal dalam keheningan tanpa sinyal.
Dalam laporan Sa’adah (2020), disebutkan bahwa keterbatasan fasilitas pembelajaran di rumah menjadi penghambat serius dalam peningkatan literasi. Anak-anak dari keluarga miskin bukan hanya kesulitan mengakses materi, tapi juga tidak mendapat bimbingan orang tua yang cukup karena jam kerja panjang atau keterbatasan pengetahuan. Lingkaran setan ini terus berulang, membentuk generasi yang belum sempat mengecap keadilan dalam akses pendidikan.
Namun, di tengah kenyataan yang mengkhawatirkan ini, harapan belum padam. Perubahan dimulai dari kesadaran kolektif bahwa literasi adalah tanggung jawab bersama. Orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat luas harus bersatu dalam membentuk ekosistem yang mendukung literasi. Pemerintah bisa memperbanyak akses buku murah dan perpustakaan keliling. Sekolah bisa memberikan pelatihan literasi untuk orang tua. Komunitas bisa menciptakan ruang baca di setiap sudut kota dan desa.
Lebih penting lagi, orang tua dengan latar belakang apa pun harus diberdayakan. Mereka harus disadarkan bahwa membaca bukan hanya urusan sekolah, tapi bagian dari pola asuh. Membacakan cerita sebelum tidur, menyediakan waktu 15 menit sehari untuk membaca bersama, atau sekadar mengajak anak berdiskusi tentang apa yang mereka lihat di sekitar, sudah menjadi langkah kecil yang berarti besar.
Indonesia memiliki potensi besar. Dengan jumlah penduduk muda yang tinggi, negeri ini bisa mencetak generasi emas. Tapi potensi itu tak akan berarti jika literasi anak-anak terus dibiarkan timpang. Kini saatnya bergerak. Jangan biarkan masa depan bangsa dikubur oleh ketimpangan sosial dan rendahnya minat baca. Literasi bukan hanya soal buku dan kata-kata, ia adalah cahaya yang menerangi jalan menuju bangsa yang cerdas, adil, dan maju.
What's Your Reaction?






